FAKTA-FAKTA TENTANG LEGENDA TANAH KELAHIRAN PATIH GAJAH MADA DAN SUMPAH PALAPA

Permulaan cerita ini adalah berlokasi tepatnya berada di Desa Cancing namun penduduk setempat lebih sering menyebutnya sebagai (Gunung Ratu) yang terletak di ketinggian desa dan dikelilingi hutan lebat, di ketinggian sekitar kurang lebih 800-an meter di atas permukaan laut, terletak di Kecamatan Ngimbang, wilayah Lamongan. Secara struktur Geografis, daerah tersebut berbatasan dengan wilayah Jombang dan Mojokerto (dahulu pusat kerajaan Majapahit).

Penulis sendiri kebetulan dilahirkan di Desa Gembong, sekitar antara 18-20 km sebelah timur daerah Gunung Ratu. Dan sewaktu masih kecil, penulis seringkali diajak oleh orang tua untuk mengunjungi pucakwangi (sekitar gunung pegat) dan berdekatan pula dengan daerah modo. Sedikit banyak telah mendengar dan melengkapinya dengan membaca tentang cerita rakyat daerah asal kelahiran patih yang terkenal hampir diseluruh Nusantara dengan (Sumpah Palapanya) yaitu Patih Gajah Mada. Beberapa diantaranya adalah mengapa sampai tersingkirnya Dewi Andongsari (Ibunda Patih Gajah Mada) dari Kerajaan Majapahit, Cerita Mengenai Peristiwa Kucing dan Ular, Tempat Joko Modo (nama sebelum terkenal dengan nama Gajah Mada) mengembala kerbau (angon kebo), dan beberapa kisah masa kecil Joko Modo. Sewaktu masih duduk dibangku SD dulu, lebih dari sekitar 25 tahun yang lalu, selain masih sekolah juga menggembalakan kambing dan mencari kayu bakar, penulis seringkali mengikuti kegiatan Pramuka. Yang paling berkesan adalah saat Penjelajahan. Sekali waktu, rute penjelajahan yaitu Desa Sekidang, Jegreg, Plapak dan Cancing (Gunung Ratu).

Untuk menuju ke makam tersebut, harus melewati tangga undakan yang lumayan tinggi. Saat itu, penulis dan beberapa teman menghitung berapa banyak undakan yang terlewati. Hasilnya, bervariasi. Sampai di atas, penulis melihat makam Dewi Andongsari yang seringkali diziarahi oleh banyak orang (terutama luar kota) seperti : Jombang, Mojokerto, Bojonegoro, Surabaya dan Sidoarjo. Hal tersebut nampak dari banyaknya taburan bunga dan pengisian buku tamu oleh juru kunci makam. Hal yang sama juga nampak ditempat Kucing yang dikubur dengan ditandainya sebuah bongkahan batu. Menurut cerita yang beredar dimasyarakat sekitar, situs pemakaman tersebut seringkali disalahgunakan oleh beberapa pihak yang masih (kejawen), semisal : mencari/ngunduh pusaka terpendam, mengharap ilmu wangsit atau juga ngalap berkah dari makam.


Kondisi pemakaman saat ini (dari 25 tahun yang lalu), jelas sangat berbeda. Lokasi tersebut sudah direnovasi ulang oleh Pemkab Lamongan dan difungsikan sebagai Peninggalan Situs Bersejarah sekaligus tempat Wisata Sejarah. Setiap hari tempat tersebut dikelola dan dirawat oleh sang juru kunci makam tersebut yaitu Mbah Sulaiman. Menurut Mbah Sulaiman inilah bukti nyata akan keberadaan asal usul Patih Gajah Mada. Gunung atau biasa juga disebut bukit Ratu, dulunya merupakan petilasan dari Dewi Andongsari yang pernah diusir dari Kerajaan Majapahit karena iri hati yang dirasakan oleh permaisuri Dara Petak dan Dara Jingga (istri sah Raden Wijaya Raja Majapahit yang pertama) karena dikhawatirkan nantinya akan memiliki seorang putra yang mungkin akan disenangi oleh Raden Wijaya jika terlahir kelak. Dan di bukit inilah tempat Dewi Andongsari menjalani hari-harinya sampai pada akhirnya melahirkan bayi laki-laki perkasa Joko Modo (Gajah Mada).

1. Peristiwa penculikan Dewi Andong sari dari Keajaan Majapahit (1299 M).

Kisah berawal ketika suatu hari Desa Cancing kedatangan sekelompok kecil prajurit istana dari Majapahit yang sedang mengantar iring-iringan selir Raden Wijaya yang ketika itu tengah mengandung.  Sekelompok prajurit kecil tersebut ditugaskan secara rahasia untuk menyingkirkan atau lebih tepatnya (mungkin membunuh) Dewi Andong Sari, tetapi karena suatu alasan seperti kasihan atau tidak tega, karena meskipun prajurit gagah berani namun bukan berarti mereka tidak memiliki perasaan layaknya manusia biasa maka Dewi Andong Saripun tidak dibunuh melainkan hanya disembunyikan di desa Cancing yang berada di tengah hutan nan jauh dari pusat pemerintahan majapahit (± 35 km arah barat laut dari Trowulan). Jalur desa tersebut dekat dengan jalur perjalanan Majapahit - Kadipaten Tuban.

Saat itu, desa tersebut dipimpin oleh Ki Gede Sidowayah yang juga memiliki keahlian membuat senjata pusaka (Mpu). Setelah usia kandungan yang cukup maka lahirlah seorang bayi laki-laki, tetapi sayang Dewi Andongsari tidak berumur panjang. Pada saat putranya masih bayi ia meninggal dunia dan dimakamkan di tempat tersembunyi tersebut yaitu di atas bukit dan di tengah rimbunnya hutan belantara. Bukit itulah yang kemudian lebih dikenal dengan nama (Gunung Ratu).

Adanya peristiwa rencana pembunuhan terhadap selir Raden Wijaya yang sedang mengandung yaitu Dewi Andongsari sangat mungkin terjadi atas kehendak dari Putri Indreswari yaitu Dara Petak yang berasal dari kerajaan Melayu.

Dara Petak adalah Putri Melayu yang dibawa ke Kerajaan Majapahit bukan atas kehendak sendiri, melainkan dibawa oleh Kebo Anabang (Pemimpin ekspedisi penyerangan Pamalayu) sebagai putri rampasan karena negerinya telah ditaklukkan oleh Majapahit. Ketika ia akan diperistri oleh Raden Wijaya tentu bukan bukan atas dasar cinta tetapi karena terpaksa oleh sebab itu dia memiliki gagasan dalam hatinya yaitu "Melayu bisa tunduk kepada Majapahit tetapi keturunan Melayu yaitu : anaknya kelak suatu saat nanti harus menjadi penguasa Majapahit."

Ketika tiba saatnya ia melahirkan seorang bayi putra yang diberi nama Kalagemet (Jayanegara) tahun 1294 M. Ia sangat senang, karena kedua anak dari Raden Wijaya permaisuri yang lain semuanya wanita, yaitu : Diyah Tribhuana Tungga Dewi dan Diyah Wiyat Sri Raja Dewi. Dengan demikian cita-citanya sudah bisa dipastikan akan segera terwujud, sebab sepeninggal Raden Wijaya tahta Kerajaan pasti akan jatuh ke tangan anak laki-laki (putranya).

Tetapi perasaan gembira tersebut akan berubah menjadi cemas lantaran terdengar kabar bahwa Selir Raden Wijaya yaitu Dewi Andongsari teryata tengah mengandung, jika nanti Dewi Andongsari ternyata melahirkan seorang anak laki-laki tentu nantinya akan menjadi bantu sandungan bagi cita-cita Dara Petak. Karena itu sebelum Dewi Andongsari melahirkan maka sesegara mungkin ia harus dilenyapkan dari Kerajaan Majapahit.

2. Peristiwa pertarungan kucing milik Dewi Andongsari dan ular berbisa.

Pernah pada suatu ketika, saat Gajah Mada masih bayi, Dewi Andongsari turun dari bukit hendak mengambil air di telaga (sendang) yang terletak di bawah bukit. Gajah Mada ditinggal sendirian, hanya ditemani kucing setia milik Dewi Andongsari. Pada saat itulah seekor ular hendak mematok Gajah Mada kecil. Kucing milik Dewi Andongsari tersebut mencoba menghalangi ular tersebut sehingga terjadilah perkelahian antara kucing setia milik Dewi Andongsari dan Ular tersebut. Si kucing berhasil menggigit ular hingga tewas berlumuran darah. Beberapa saat kemudian, Dewi Andongsari datang dan langsung melihat kucing miliknya yang mulutnya penuh darah. Dewi Andongsari mengira bahwa kucing tersebut telah menggigit Gajah Mada. Lalu kemudian kucing itu pun dia pukul hingga tewas. Tetapi Dewi Andongsari pun kemudian langsung menyadari ketika tidak jauh dari bayinya, terlihat bangkai ular yang berlumuran darah. Dewi Andongsari menyesal bukan main, karena telah memukul kucingnya sendiri yang sangat setia kepadanya.

Kucingnya yang sangat setia tersebut kemudian dikuburkan di bukit Gunung Ratu dan sampai sekarang keberadaan telaga tersebut dan tempat dikuburkannya kucing tersebut masih terawat dengan baik. Tidak lama setelah peristiwa tersebut, Dewi Andongsari pun meninggal. Oleh warga desa Cancing jenazahnya dimakamkan di bukit tersebut, tidak jauh dari kuburan kucing dan Makam Dewi Andongsari. Bayi Gajah Mada sendiri kemudian diambil oleh Ki Gede Sidowayah.

Namun Ki Gede Sidowayah sendiri tidak memiliki istri. Dia merasa kasihan dan khawatir terhadap bayi tersebut yang tidak terurus dengan baik. Oleh karena itu, bayi tersebut kemudian diserahkan kepada adik perempuannya (janda Wara Wuri) agar bisa dirawat dengan baik yang tinggal di desa Modo. Bayi laki-laki tersebut tumbuh sehat dan cerdas yang kemudian dipanggil dengan nama Joko Modo (pemuda dari Modo).

3. Joko Modo (nama asli Patih Gajah Mada) ketika masih remaja.

Seperti pemuda-pemuda desa pada umumnya, Joko Modo pun ikut bekerja membantu orang tua angkatnya yaitu (janda Wara Wuri) sebagai pengembala kerbau. Karena kecerdasan dan kebijaksanaan yang dimiliki Joko Modo sejak remaja oleh sesama teman-teman penggembala kerbau dianggap sebagai pemimpin. Meskipun hanya sebagai pemimpin sekelompok anak gembala, ternyata bakat kepemimpinannya sudah mulai terlihat.

Untuk memudahkan mengawasi kerbau-kerbau yang sedang digembala tersebut, Joko Modo dan kawan-kawan gembala lainnya naik di atas bukit kecil sehingga jarak pandangnya menjadi jauh dan luas. Bukit tersebut sampai sekarang masih ada dan oleh masyarakat setempat dinamakan Sitinggil (Siti= tanah, Inggil= tinggi) artinya tanah yang tinggi.

Pada saat Joko Modo diatas bukit sambil mengawasi kerbau-kerbaunya itu tidak sengaja ia pun terkadang sesekali melihat sekelompok prajurit Majapahit yang menuju ke kadipaten Tuban atau sebaliknya dari Tuban menuju ke kotaraja Majapahit. Hal ini terjadi karena letak desa Modo memang berada diantara Majapahit (sekarang Mojokerto) dan Tuban.

Dari seringnya melihat sekelompok prajurit Majapahit yang terlihat gagah berani tersebut membuat hati Joko Modo merasa tertarik untuk menjadi prajurit seperti mereka. Joko Modo memiliki mimpi bahwa kelak suatu saat ia ingin sekali menjadi salah satu prajurit Majapahit. Sedangkan Ki Gede Sidowayah sendiri diberi hadiah tanah perdikan di Songgoriti (Malang). Hadiah tersebut nampaknya sebagai penghargaan (rasa terimakasih) kepada Ki Gede yang diam-diam berhasil menyelamatkan Dewi Andongsari dan menjaga bayinya. Ki Gede Sidowayah tidak lupa mengajak pula Joko Modo ke Songgoriti, dengan pertimbangan agar jiwa, sikap, serta cara berpikir Joko Modo yang cerdas dan bijaksana dapat berkembang dengan baik. Hal ini dimungkinkan karena Songgoriti daerahnya terlihat lebih subur dan makmur apabila dibandingkan dengan Modo atau Ngimbang Lamongan yang letaknya jauh di dalam lebatnya hutan belantara.

Karena kecakapan dan kepandaiannya tersebut dan didukung oleh pengaruh Ayah angkatnya yaitu Ki Gede Sidowayah maka Joko Modo akhirnya tercapai cita-citanya yaitu menjadi prajurit Majapahit, yang kelak Kemudian kariernya terus menanjak sehingga menjadi Patih Gajah Mada, seorang tokoh besar di Kerajaan Majapahit.

4. Patih Gajah Mada sebenarnya tidak tngin tmlakukan kudeta terhadap kekuasaan Raja Hayam Wuruk.

Sejak kekuasaan Kerajaan Majapahit masih dipegang oleh ibunda Raja Hayam Wuruk yaitu Ratu Tribhuwana Tungga Dewi segala urusan pemerintahan seolah diserahkan sepenuhnya kepada Patih Gajah Mada. Dan ketika Hayam Wuruk dinobatkan sebagai Raja sebagai pengganti ibundanya, ia baru berusia sekitar kurang lebih 17 tahun. Segala urusan pemerintahan masih diserahkan kepada Patih Gajah Mada. Bahkan Keadaan seperti itu sangat memungkinkan 100% jika Patih Gajah Mada ingin melakukan kudeta, dalam artian Patih Gajah Mada jika ingin melakukan kudeta maka tidak akan ada hambatan apapun yang akan menjadi batu sandungannya dalam memperoleh kekuasaan sepenuhnya dari Kerajaan Majapahit.

5. Bunyi sumpah Palapa :

“Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring gurun, ring seram, tanjungpura, ring haru, pahang, dompo, ring bali, sunda, palembang, tumasik, samana isun amukti palapa.”

“Apabila sudah kalah Nusantara, saya akan beristirahat, apabila Gurun telah dikalahkan, begitupula Seram, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, pada waktu itu saya akan menikmati istirahat.”

Demikian sumpah lantang yang pernah diucapkan oleh sang Patih Kerajaan Majapahit, Gajah Mada, menurut kitab Pararaton. Ikrar terucap karena kuatnya keinginan Gajah Mada dalam membendung pengaruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara di Kepulauan Nusantara.


Nusantara harusnya berada di bawah kekuasaan kerajaan yang ada di dalamnya, bukan dikuasai oleh kerajaan lain yang ada di daratan Asia Tenggara. Kuatnya ucapan ini dalam sejarah Nusantara membuat kata "palapa" diabadikan menjadi nama satelit komunikasi yang pertama kali diluncurkan milik Indonesia.

Tetapi, di balik kekuatan kata tersebut, terdapat banyak makna yang terkandung didalamnya salah satu yang mencoba untuk mengetahui apa arti sebenarnya dari sumpah tersebut. Salah satunya adalah Dosen arkeologi FIB UI, Agus Aris Munandar, dalam Gajah Mada Biografi Politik, menyebutkan bahwa ada sebagian kalangan yang mengartikan amukti palapa dengan "memakan buah kepala" atau "memakan buah palapa".

"Namun, jika buah kepala memang jelas maksudnya, ada buah yang dinamakan kelapa. Namun, 'buah palapa' sampai sekarang belum ada yang mengetahui bentuk, apalagi rasanya," tulis Agus.

M Yamin juga berusaha menafsirkannya dengan makna lain. Menurutnya, palapa berarti Gajah Mada akan pantang bersenang-senang sebelum sumpahnya terpenuhi semua. Sementara Slamet Muljana, profesor yang ternama dengan Tafsir Sejarah Nagarakretagama, yang sering menjadi referensi mengenai perjalanan Majapahit, menyebutkan bahwa amukti palapa artinya beristirahat atau bebas dari tugas/cuti.

Tafsiran lain datang dari pakar bahasa Jawa Kuno, P J Zoetmulder, yang mencoba mengungkapnya dari asal arti “amukti” dan “palapa.” Menurutnya, amukti palapa diartikan sebagai "(mendapat)” kesenangan yang tiada pernah berakhir".

"Gajah Mada akan mendapat kesenangan yang tiada akhir jika saja seluruh wilayah Nusantara yang disebutkan dalam sumpahnya itu dapat dipersatukan di bawah kekuasaan Majapahit," ungkap Zoetmulder.

Mana yang benar? Suatu Multitafsir, belum ada kesepakatan yang berarti akan hal ini. Gajah Mada sendiri pergi dengan meninggalkan nama yang harum bagi Nusantara. Menurut kitab Pararaton, ia wafat pada tahun Saka 1290, tetapi pada Nagarakretagama dituliskan bahwa Gajah Mada sendiri pergi pada tahun Saka 1286.

Kepergiannya membuat sang prabu Hayam Wuruk larut dalam duka yang sangat terasa efeknya. Ia berusaha mencari pengganti baru hingga dipanggillah para anggota dewan pertimbangan agung. Tetapi, hingga akhir pertemuan besar tersebut, tidak juga Raja Hayam Wuruk tidak memperoleh titik temu mengenai pengganti posisi yang cocok dan melebihi nama Patih Besar Gajah Mada.

Disebutkan dalam buku "Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit" karya Slamet Muljana, rapat tersebut memutuskan bahwa Gajah Mada tidak akan pernah diganti. (Zika Zakiya/National Geographic Indonesia)

Tulisan ini : sama sekali tidak bermaksud pada pengklaiman terhadap sosok Gajah Mada berdasarkan wilayah, etnisitas, dan golongan. Sampai saat ini, segala legenda, mitos, maupun dugaan masih belum bisa menyimpulkan secara benar tentang tabir asal-usul Gajah Mada. Yang jelas, Gajah Mada adalah sejarah milik Indonesia, dan oleh sebab itu sudah menjadi bagian internal bangsa ini, menjadi milik sah dari Indonesia.

Akhirnya Penulis menutup tulisan ini dengan mengutip sepotong tulisan dari buku karangan Langit Kresna Hariadi :

“Dengan kebebasan yang aku miliki, aku bisa berada di mana pun dalam waktu lama tanpa harus terganggu oleh keinginan pulang. Lebih dari itu, aku berharap apa yang kulakukan itu akan menyempurnakan pilihan akhir hidupku dalam semangat hamukti moksa. Biarlah orang mengenangku hanya sebagai Gajah Mada yang tanpa asal-usul, tak diketahui siapa orang tuanya, tak diketahui di mana kuburnya, dan tak diketahui anak turunnya. Biarlah Gajah Mada hilang lenyap, moksa tidak diketahui jejak telapak kakinya, murca berubah bentuk menjadi udara.” (Gajah Mada Madakaripura Hamukti Moksa, Langit Kresna Hariadi, 2007).


BACA JUGA : PARA TOKOH-TOKOH UTAMA SUARA DALAM SERIAL CERITA SAUR SEPUH

Comments