KISAH CINTA SANG RAJA MADANGKARA BRAMA KUMBARA

Sejak dari awal Brama Kumbara pernah sekali mencintai seorang wanita. Kisah cinta ini ada dalam episode berjudul Bara di Bumi Ankara, dimana dalam perjalanannya ke Ankara, Brama Kumbara jatuh cinta dengan seorang putri raja cantik jelita bernama Putri Doria. Cinta pertamanya itu telah hancur dan runtuh dalam suatu pertempuran. Sosok Brama Kumbara yang gagah, tampan, dan karismatik banyak menarik perhatian para wanita, termasuk salah satunya adalah Lasmini yang pada akhirnya menjadi musuh bebuyutannya sendiri.

Salah satu di antaranya yang akhirnya mampu mengambil hati dari Brama Kumbara adalah sosok Dewi Harnum. Dewi Harnum hampir selalu menjadi pendamping Brama dalam setiap perjalanannya. Dia juga yang menjadi satu-satunya saksi pertarungan dahsyat sesama Ajian Serat Jiwa tingkat 10 milik Brama Kumbara melawan Ajian Serat Jiwa tingkat 10 Milik Gardika (musuh bebuyutan Brama Kumbara).

Namun kemudian Brama dan Harnum bertemu dengan Paramita, seorang janda manis dan masih muda yang beranak 2 yaitu : (Raden Bentar dan Garnis) yang juga sebenarnya menaruh hati kepada Brama Kumbara. Harnum kemudian bersahabat erat dengan Paramita. Dan ketika Brama kemudian menyunting Harnum, Harnum akhirnya menyetujui permintaan Brama Kumbara, namun dengan satu syarat jika Brama juga bersedia untuk menyunting Paramita sebagai istrinya.



KISAH PERNIKAHAN MANTILI DALAM CERITA SAUR SEPUH

Sebenarnya yang menjadi cinta sejati Mantili adalah Raden Samba. Namun karena sifat Mantili yang keras kepala, mereka berdua seringkali bertengkar dan pada akhirnya karena terlalu jengkel Mantili malah mau untuk dinikahi oleh Patih Gutawa. Raden Samba yang kemudian menikah dengan wanita lain ternyata masih belum mampu untuk melupakan Mantili yang merupakan cinta sejatinya, akibatnya pernikahannya dengan wanita lain tersebut menjadi tidak harmonis lagi dan hambar.


Pada cerita selanjutnya, hari dimana putra Raden Samba akhirnya datang ke Madangkara untuk mencari Mantili agar dapat membalas dendam karena menganggap Mantili sebagai penyebab utama kehancuran keluarganya.

CERITA SAUR SEPUH YANG MERAMBAH PERTELEVISIAN INDONESIA

Setelah cerita sandiwara radio berjudul Saur Sepuh diluar dugaan telah sukses mendapatkan jutaan pendengar setia dan menjadi sangat populer secara nasional pada masa itu, akhirnya Saur Sepuh diangkat alur ceritanya ke layar lebar pada tahun 1987. Dan sukses bekerjasama dengan salah satu produksi film Nasional (Kanta Indah Film), Kalbe Farma masih tetap ikut untuk mendanai pembuatan film Saur Sepuh yang disutradarai oleh sutradara ternama Imam Tantowi. Film Saur Sepuh akhirnya diputar sebagai film layar lebar secara Nasional pada tahun 1987, dan setelah sukses besarnya juga terus diikuti oleh empat film Saur Sepuh versi seri lainnya dalam sebuah waralaba. Lima film serial Saur Sepuh tersebut yaitu:

1. Saur Sepuh : Berjudul Ksatria Madangkara (1987).


Film Saur Sepuh : Ksatria Madangkara yang terjadi banyak mengambil waktu pada zaman kerajaan Majapahit. Film ini di launching tahun 1987, dengan disutradarai oleh Imam Tantowi dan dibintangi oleh Fendi Pradana sebagai Brama Kumbara, Elly Ermawatie (yang juga mengisi suara Mantili dalam versi sandiwara radionya) sebagai Mantili, dan Murti Sari Dewi sebagai Lasmini.

Pertumbuhan bibit-bibit konflik dan peperangan yang sudah mulai tumbuh di bumi Kerajaan Majapahit setelah Bhre Wirabhumi mendirikan Kerajaan Pamotan dan bertekad untuk merebut tahta kerajaan besar yang telah menjadi besar di bawah kepemimpinan ayahnya, Prabu Hayam Wuruk (Raja Majapahit), dari tangan Wikramawardhana, menantu ayahnya tersebut. Dalam kekacauan tersebut, kekasih Lasmini, seorang hulubalang dari Kerajaan Pamotan, tewas di tangan Brama Kumbara karena telah membunuh utusan dari Kerajaan Madangkara yang berniat ingin mendamaikan pertikaian diantara kedua besar tersebut yaitu : Kerajaan Pamotan dan Kerajaan Majapahit.

Lasmini semakin tidak terima atas kematian kekasihnya tersebut sehingga berusaha untuk menuntut balas kepada Brama Kumbara, seorang satria gagah berani dan bersahaja dari Kerajaan Madangkara yang menjadi buah bibir di perbincangan sehari-hari warga Madangkara. Akan tetapi ketika berhadapan langsung dan hendak bertarung dengan Brama Kumbara, Lasmini menjadi lupa diri dan mulai terpikat serta jatuh hati pada paras tampan Prabu Brama Kumbara, namun dia juga menjadi muak pada Mantili, adik kesayangan Brama. Kisah ini menjadi awal mula kisah cinta tragis dalam serial Saur Sepuh, dimana cinta Lasmini pada Brama tidak pernah terbalaskan dan menjadi musuh bebuyutan Mantili.

2. Saur Sepuh Versi II: Berjudul Pesanggrahan Keramat (1988).


Pada cerita Saur Sepuh versi sebelumya dan meraih banyak kesuksesan melalui Satria Madangkara, Kanta Indah Film kembali memproduksi sekuel dari film pertamanya dengan judul Pesanggrahan Keramat. Film yang dirilis tahun 1988 ini kembali disutradarai oleh Imam Tantowi dan masih menggunakan pemeran-pemeran yang sama dengan Satria Madangkara.

Dalam versi judul Pesanggrahan Keramat, makam dari guru Brama Kumbara ternyata dibakar dan dirusak oleh kelompok jahat yang dipimpin Ki Lugina dan Ki Jara yang di dukung penuh oleh Karti, seorang saudagar kaya raya dari Kerajaan Kuntala. Prabu Brama Kumbara akhirnya menjadi murka dan sampai menuntut balas kepada orang-orang jahat yang telah membakar makam gurunya tersebut. Film ini menunjukkan adegan-adegannya secara sesuai dengan yang diceritakan dalam versi sandiwara radionya terdahulu yang lebih dahulu rilis daripada versi filmnya. Antara lain dalam adegan dimana Brama sampai dilempar pisau, namun tiba-tiba saja menghilang dan muncul kembali di belakang orang yang melempar pisau kepadanya.

3. Saur Sepuh Versi III: Berjudul Kembang Gunung Lawu (1988).


Pasca memperoleh kesuksesan untuk yang kedua kalinya Saur Sepuh versi Ksatria Madangkara dan versi Pesanggrahan Keramat, Kanta Indah Film kembali berniat untuk memproduksi Kembang Gunung Lawu sebagai bagian dari waralaba Saur Sepuh. Kembang Gunung Lawu ini sudah diluncurkan pada tahun 1988 dan lagi-lagi kembali disutradarai oleh Imam Tantowi serta masih tetap menggunakan pemeran-pemeran lama seperti dalam Satria Madangkara dan Pesangrahan Keramat. Film ini berkisah tentang latar belakang kehidupan Lasmini, salah satu tokoh utama dalam kisah cinta yang teramat tragis Saur Sepuh dan dikenal dengan nama "Kembang Gunung Lawu" dengan perguruan "Anggrek Jingga"-nya.

Lasmini merupakan istri dari seorang pedagang di Kawali yang telah diperkosa oleh anak buah suaminya, agar rahasia anak buahnya tidak terbongkar kemudian Lasmini dibuang ke jurang. Dalam keadaan sudah ternodai dan sekarat  hampir saja tewas, Lasmini kemudian ditolong oleh seorang nenek tua yang suatu hari nanti akan menjadi gurunya. Setelah sembuh dan mulai belajar ilmu kanuragan, Lasmini kembali ke Kawali dan berusaha menuntut balas secara kejam kepada orang-orang yang telah memperkosa secara bergiliran dan membuangnya kedalam jurang.

Akibat tindakan Lasmini yang diluar batas kesewenang-wenang  telah mengundang Mantili untuk segera ikut bertarung, walaupun pada akhirnya dikalahkam oleh kesaktian Lasmini. Dengan kemampuan ajian Srigunting dari kakaknya, Prabu Brama Kumbara, Mantili kembali bertarung dengan Lasmini. Dengan tempat bertarung sengaja mengambil tempat di pantai yang penuh dengan berbagai efek khusus yang banyak mempesona para penonton pada saat itu, film ini sangat banyak menarik para penonton dari perfilman Nusantara waktu itu. Film kolosal Saur Sepuh 3 dengan tokoh utama Lasmini dan bercerita tentang kisah hidupnya yang tragis.

4. Saur Sepuh Versi IV: Berjudul Titisan Darah Biru (1991).


Diputar pada tahun 1991, Saur Sepuh versi judul Titisan Darah Biru banyak menceritakan tentang generasi kedua dari Kerajaan Madangkara dengan tokoh utamanya adalah Raden Wanapati, Raden Bentar, dan Garnis Waningyun. Titisan Darah Biru dibintangi oleh Adi Kuncoro sebagai Wanapati, Candy Satrio sebagai Bentar dan Devi permatasari sebagai Garnis Waningyun. Secara keseluruhan film ini dinilai mengalami kemajuan yang sangat pesat apabila dibandingkan dengan film-film pendahulunya dari segi efek, tempat, pemain dan penataan musiknya.

Cerita kelanjutan dalam Titisan Darah Biru cenderung agak lebih lepas daripada film-film pendahulunya. Film ini menceritakan tentang kepemimpinan seorang Wanapati yang cenderung emosional dan temperamental sehingga banyak menghadapi berbagai tentangan dari para kaum sesepuh kerajaan Madangkara. Sementara sang Prabu Brama Kumbara yang sedang bertapa hanya sebaliknya menjadi tokoh pembantu saja dalam film ini.

5. Saur Sepuh Versi V: Berjudul Istana Atap Langit (1992).


Film Saur Sepuh Versi V tentang Istana Atap Langit merupakan film terakhir dalam serial waralaba Saur Sepuh yang dirilis pada tahun 1992 dan kali ini disutradarai oleh Torro Margens. Walaupun Imam Tantowi tidak kembali menyutradarai film ini, Istana Atap Langit dinilai sebagai bagian dari serial waralaba film layar lebar Saur Sepuh yang terbagus dari segi kualitas akting pemain, efek khusus camera, tata bahasa dan suara serta ilustrasi musik. Cerita dalam film ini juga lebih tepat ketika dimasukkan ke dalam kisah sentral film Saur Sepuh, karena kembali meisahkan tentang ketiga tokoh utamanya, yaitu Prabu Brama Kumbara (Fendi Pradana), adiknya Mantili (Elly Ermawatie), dan Lasmini (Murti Sari Dewi).

Dua orang Biksu pengelana dari negeri Tibet yaitu : Biksu Kampala dan Biksu Targhu, telah hadir dan berkunjung di Kerajaan Madangkara untuk sekedar mengenal kerajaan yang kecil nan makmur sentosa serta bersahaja yang dipimpin oleh seorang raja yang sangat berwibawa dan begitu disegani yaitu Prabu Brama Kumbara. Namun terjadi kesalahan persepsi dan anggapan bahwa kehadiran mereka (kedua Biksu tersebut) justru dianggap sebagai musuh dari negeri lain setelah Lasmini menyebarkan isu buruk bahwa Kampala datang untuk membunuh Prabu Brama Kumbara.

Isu Lasmini tersebut akhirnya banyak menebar kekacauan dimanapun ketika Biksu Kampala dan Biksu Targhu berada. Mantili kemdian cepat menyadari tentang niat buruk dari Lasmini yang telah menebar isu buruk terhadap dua Biksu dari Tibet itu, dia berusaha mengail di air keruh dan membuat Lasmini marah setelah utusannya, Kijara dan Lugina tewas di tangan Mantili ketika bertarung dengan keduanya. Mantili akhirnya menyadari kekeliruannya dan kemudian meminta Brama Kumbara agar ikut turun tangan sendiri dalam menyelesaikan segala permasalahan ini. Di akhir cerita, Raden Bentar kemudian dititipkan oleh Prabu Brama Kumbara kepada Biksu Kampala untuk mendalami ajaran Buddha dan dibawa ke negeri Tibet dia berada langsung dibawah bimbingan Biksu Kampala sendiri.

Comments