Jika merujuk pada penjelasan dari naskah kuno primer Bujangga Manik (yang menceriterakan tentang perjalanan Bujangga Manik, seorang pendeta Hindu Sunda yang mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di Pulau Jawa dan Bali pada awal abad ke-16), pada saat ini sudah tersimpan pada Perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627), batas Kerajaan Sunda di sebelah timur adalah Ci Pamali ("Sungai Pamali", sekarang disebut sebagai Kali Brebes) dan Ci Serayu (yang saat ini disebut dengan nama Kali Serayu) di Provinsi Jawa Tengah. Kerajaan Sunda yang berikbukota di Pajajaran juga mencakup wilayah bagian selatan pulau Sumatera. Setelah Kerajaan Sunda diruntuhkan oleh Kesultanan Banten maka kekuasaan atas wilayah selatan Sumatera dilanjutkan oleh Kesultanan Banten yang menguasainya.
Menurut Naskah Wangsakerta, wilayah Kerajaan Sunda mencakup juga daerah yang saat ini menjadi Provinsi Lampung melalui pernikahan antara keluarga Kerajaan Sunda dan Lampung. Kemudian Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan Sunda oleh Selat Sunda.
Persekutuan antara Kerajaan Sunda dan Galuh
Putera Pertama Tarusbawa yang bernama Rarkyan Sundasambawa, wafat diusia yang masih terbilang muda, meninggalkan seorang anak perempuan yang bernama Nay Sekarkancana. Cucu Tarusbawa ini lantas dinikahi oleh Rahyang Sanjaya dari Galuh, sampai memiliki seorang putra bernama Rahyang Tamperan.
Ibu dari Sanjaya adalah Sanaha, yang tidak lain adalah cucu Ratu Shima dari Kalingga dari Jepara. Ayah dari Sanjaya adalah Bratasenawa/Sena/Sanna, Raja Galuh generasi ketiga sekaligus teman dekat dari Tarusbawa. Sena adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M). Sena pada tahun 716 M telah dikhianati dan dikudeta dari tahta kerajaan Galuh oleh Purbasora. Purbasora dan Sena sebenarnya adalah dua orang saudara satu ibu, berbeda ayah.
Sena dan keluarganya menyelamatkan diri ke Pakuan Padjajaran, pusat Kerajaan Sunda, dan meminta pertolongan kepada Tarusbawa. Namun yang lebih ironis lagi adalah Wretikandayun, kakek Sena, sebelumnya menuntut Tarusbawa untuk segera memisahkan Kerajaan Galuh dari Kerajaan Tarumanegara. Pada kemudian hari, Sanjaya yang merupakan penerus sah dari Kerajaan Galuh, menyerang Kerajaan Galuh dengan bala bantuan dari Tarusbawa. Penyerangan ini bertujuan agar dapat menggeser kekuasaan dari Purbasora.
Perkiraan pada (tahun 723). Tarusbawa meninggal dunia, kekuasaan Kerajaan Sunda dan Galuh akhirnya jatuh di tangan Sanjaya. Di bawah kekuasaan Sanjaya inilah akhirnya Kerajaan Sunda dan Galuh dapat bersatu kembali. Sekitar tahun 732, Sanjaya menyerahkan kekuasaan Sunda-Galuh kepada putranya Rarkyan Panaraban (Tamperan). Di Kalingga Sanjaya memegang kekuasaan selama 22 tahun (732-754), yang kemudian digantikan oleh putranya dari Dewi Sudiwara, yaitu Rakai Panangkaran. Rarkyan Panaraban berkuasa di Sunda-Galuh selama tujuh tahun (732-739), lalu membagi kekuasaan untuk kedua putranya :
1, Sang Manarah (dalam carita rakyat disebut Ciung Wanara) menguasai wilayah Galuh.
2. Sang Banga (Hariang Banga) menguasai wilayah Sunda.
Sang Banga (Prabhu Kertabhuwana Yasawiguna Hajimulya) menjadi raja selama 27 tahun (739-766), namun hanya menguasai Sunda dari tahun 759. Dari Dewi Kancanasari, keturunan Demunawan dari Saunggalah, Sang Banga memiliki putra bernama Rarkyan Medang, yang kemudian meneruskan kekuasaanya di kerajaan Sunda selama 17 tahun (766-783) dengan gelar Prabhu Hulukujang. Karena anaknya perempuan, Rakryan Medang mewariskan kekuasaanya kepada menantunya, Rakryan Hujungkulon atau Prabhu Gilingwesi dari Galuh, yang menguasai Sunda selama 12 tahun (783-795).
Karena Rakryan Hujungkulon ini hanya memiliki anak perempuan, maka kekuasaan Sunda selanjutnya jatuh ke tangan menantunya, Rakryan Diwus (dengan gelar Prabu Pucukbhumi Dharmeswara) yang berkuasa selama 24 tahun (795-819). Dari Rakryan Diwus, kekuasaan Sunda diturunkan lagi kepada putranya, Rakryan Wuwus, yang akhirnya menikah dengan putra dari Sang Welengan (raja Galuh, 806-813). Kekuasaan Galuh juga jatuh kepadanya saat saudara iparnya, Sang Prabhu Linggabhumi (813-842), meninggal dunia. Kekuasaan Sunda-Galuh dipegang oleh Rakryan Wuwus (dengan gelar Prabhu Gajahkulon) sampai beliau wafat tahun 891.
Sepeninggal Rakryan Wuwus, kekuasaan Sunda-Galuh jatuh ke tangan adik iparnya dari Galuh, Arya Kadatwan. Hanya saja, karena tidak terlalu disukai oleh para pembesar dari Sunda, maka kemudian beliau dibunuh tahun 895, sedangkan kekuasaannya diturunkan lagi kepada putranya, Rakryan Windusakti. Kekuasaan ini lantas diturunkan pada putra sulungnya, Rakryan Kamuninggading (913). Rakryan Kamuninggading menguasai Sunda-Galuh hanya tiga tahun, karena selanjutnya kekuasaannya dirampas oleh adiknya sendiri yaitu Rakryan Jayagiri (916). Rakryan Jayagiri berkuasa selama kurang lebih 28 tahun, kemudian diwariskan kepada menantunya, Rakryan Watuagung, tahun 942. Melanjutkan dendam orangtuanya, Rakryan Watuagung direbut kekuasaannya oleh keponakannya (putera Kamuninggading), Sang Limburkancana (954-964).
Dari Limburkancana, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan oleh putera sulungnya, Rakryan Sundasambawa (964-973). Karena tidak mempunyai putra dari Sundasambawa, kekuasaan tersebut akhirnya jatuh ke adik iparnya, Rakryan Jayagiri (973-989). Rakryan Jayagiri mewariskan kekuasaannya kepada puteranya, Rakryan Gendang (989-1012), dilanjutkan oleh cucunya, Prabhu Dewasanghyang (1012-1019). Dari Dewasanghyang, kekuasaan diwariskan kepada putranya, lalu kepada cucunya yang membuat prasasti Cibadak, Sri Jayabhupati (1030-1042). Sri Jayabhupati adalah menantu dari Dharmawangsa Teguh dari Jawa Timur, mertua raja Airlangga (1019-1042).
Dari Sri Jayabhupati, kekuasaannya diwariskan kepada putranya, Dharmaraja (1042-1064), lalu kepada cucu menantunya, Prabhu Langlangbhumi (1064-1154). Prabu Langlangbhumi dilanjutkan oleh putranya, Rakryan Jayagiri (1154-1156), lantas oleh cucunya, Prabhu Dharmakusuma (1156-1175). Dari Prabu Dharmakusuma, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan kepada putranya, Prabhu Guru Dharmasiksa, yang memerintah selama 122 tahun (1175-1297). Dharmasiksa memimpin Sunda-Galuh dari Saunggalah selama 12 tahun, tetapi kemudian memindahkan pusat pemerintahan ke Pakuan Pajajaran, mengembalikan lagi ke tempat awal moyangnya (Tarusbawa) memimpin dan memindahkan kerajaan Sunda.
Sepeninggal Dharmasiksa, kekuasaan Sunda-Galuh turun kepada putranya sulungnya yaitu Rakryan Saunggalah (Prabhu Ragasuci), yang berkuasa selama enam tahun (1297-1303). Prabhu Ragasuci kemudian digantikan oleh putranya, Prabhu Citraganda, yang berkuasa selama delapan tahun (1303-1311), kemudian oleh keturunannya lagi, Prabu Linggadewata (1311-1333). Karena hanya memiliki anak perempuan, Linggadewata menurunkan kekuasaannya kepada menantunya, Prabu Ajiguna Linggawisesa (1333-1340), dilanjutkan kepada Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350). Dari Prabu Ragamulya, kekuasaan diwariskan kepada putranya, Prabu Maharaja Linggabuanawisesa (1350-1357), yang di ujung kekuasaannya gugur saat terjadinya Perang Bubat. Karena saat kejadian di Bubat, putranya Niskalawastukancana masih sangat kecil, kekuasaan Sunda sementara dipegang oleh Patih Mangkubumi Sang Prabu Bunisora (1357-1371).
Menurut Naskah Wangsakerta, wilayah Kerajaan Sunda mencakup juga daerah yang saat ini menjadi Provinsi Lampung melalui pernikahan antara keluarga Kerajaan Sunda dan Lampung. Kemudian Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan Sunda oleh Selat Sunda.
Persekutuan antara Kerajaan Sunda dan Galuh
Putera Pertama Tarusbawa yang bernama Rarkyan Sundasambawa, wafat diusia yang masih terbilang muda, meninggalkan seorang anak perempuan yang bernama Nay Sekarkancana. Cucu Tarusbawa ini lantas dinikahi oleh Rahyang Sanjaya dari Galuh, sampai memiliki seorang putra bernama Rahyang Tamperan.
Ibu dari Sanjaya adalah Sanaha, yang tidak lain adalah cucu Ratu Shima dari Kalingga dari Jepara. Ayah dari Sanjaya adalah Bratasenawa/Sena/Sanna, Raja Galuh generasi ketiga sekaligus teman dekat dari Tarusbawa. Sena adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M). Sena pada tahun 716 M telah dikhianati dan dikudeta dari tahta kerajaan Galuh oleh Purbasora. Purbasora dan Sena sebenarnya adalah dua orang saudara satu ibu, berbeda ayah.
Sena dan keluarganya menyelamatkan diri ke Pakuan Padjajaran, pusat Kerajaan Sunda, dan meminta pertolongan kepada Tarusbawa. Namun yang lebih ironis lagi adalah Wretikandayun, kakek Sena, sebelumnya menuntut Tarusbawa untuk segera memisahkan Kerajaan Galuh dari Kerajaan Tarumanegara. Pada kemudian hari, Sanjaya yang merupakan penerus sah dari Kerajaan Galuh, menyerang Kerajaan Galuh dengan bala bantuan dari Tarusbawa. Penyerangan ini bertujuan agar dapat menggeser kekuasaan dari Purbasora.
Perkiraan pada (tahun 723). Tarusbawa meninggal dunia, kekuasaan Kerajaan Sunda dan Galuh akhirnya jatuh di tangan Sanjaya. Di bawah kekuasaan Sanjaya inilah akhirnya Kerajaan Sunda dan Galuh dapat bersatu kembali. Sekitar tahun 732, Sanjaya menyerahkan kekuasaan Sunda-Galuh kepada putranya Rarkyan Panaraban (Tamperan). Di Kalingga Sanjaya memegang kekuasaan selama 22 tahun (732-754), yang kemudian digantikan oleh putranya dari Dewi Sudiwara, yaitu Rakai Panangkaran. Rarkyan Panaraban berkuasa di Sunda-Galuh selama tujuh tahun (732-739), lalu membagi kekuasaan untuk kedua putranya :
1, Sang Manarah (dalam carita rakyat disebut Ciung Wanara) menguasai wilayah Galuh.
2. Sang Banga (Hariang Banga) menguasai wilayah Sunda.
Sang Banga (Prabhu Kertabhuwana Yasawiguna Hajimulya) menjadi raja selama 27 tahun (739-766), namun hanya menguasai Sunda dari tahun 759. Dari Dewi Kancanasari, keturunan Demunawan dari Saunggalah, Sang Banga memiliki putra bernama Rarkyan Medang, yang kemudian meneruskan kekuasaanya di kerajaan Sunda selama 17 tahun (766-783) dengan gelar Prabhu Hulukujang. Karena anaknya perempuan, Rakryan Medang mewariskan kekuasaanya kepada menantunya, Rakryan Hujungkulon atau Prabhu Gilingwesi dari Galuh, yang menguasai Sunda selama 12 tahun (783-795).
Karena Rakryan Hujungkulon ini hanya memiliki anak perempuan, maka kekuasaan Sunda selanjutnya jatuh ke tangan menantunya, Rakryan Diwus (dengan gelar Prabu Pucukbhumi Dharmeswara) yang berkuasa selama 24 tahun (795-819). Dari Rakryan Diwus, kekuasaan Sunda diturunkan lagi kepada putranya, Rakryan Wuwus, yang akhirnya menikah dengan putra dari Sang Welengan (raja Galuh, 806-813). Kekuasaan Galuh juga jatuh kepadanya saat saudara iparnya, Sang Prabhu Linggabhumi (813-842), meninggal dunia. Kekuasaan Sunda-Galuh dipegang oleh Rakryan Wuwus (dengan gelar Prabhu Gajahkulon) sampai beliau wafat tahun 891.
Sepeninggal Rakryan Wuwus, kekuasaan Sunda-Galuh jatuh ke tangan adik iparnya dari Galuh, Arya Kadatwan. Hanya saja, karena tidak terlalu disukai oleh para pembesar dari Sunda, maka kemudian beliau dibunuh tahun 895, sedangkan kekuasaannya diturunkan lagi kepada putranya, Rakryan Windusakti. Kekuasaan ini lantas diturunkan pada putra sulungnya, Rakryan Kamuninggading (913). Rakryan Kamuninggading menguasai Sunda-Galuh hanya tiga tahun, karena selanjutnya kekuasaannya dirampas oleh adiknya sendiri yaitu Rakryan Jayagiri (916). Rakryan Jayagiri berkuasa selama kurang lebih 28 tahun, kemudian diwariskan kepada menantunya, Rakryan Watuagung, tahun 942. Melanjutkan dendam orangtuanya, Rakryan Watuagung direbut kekuasaannya oleh keponakannya (putera Kamuninggading), Sang Limburkancana (954-964).
Dari Limburkancana, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan oleh putera sulungnya, Rakryan Sundasambawa (964-973). Karena tidak mempunyai putra dari Sundasambawa, kekuasaan tersebut akhirnya jatuh ke adik iparnya, Rakryan Jayagiri (973-989). Rakryan Jayagiri mewariskan kekuasaannya kepada puteranya, Rakryan Gendang (989-1012), dilanjutkan oleh cucunya, Prabhu Dewasanghyang (1012-1019). Dari Dewasanghyang, kekuasaan diwariskan kepada putranya, lalu kepada cucunya yang membuat prasasti Cibadak, Sri Jayabhupati (1030-1042). Sri Jayabhupati adalah menantu dari Dharmawangsa Teguh dari Jawa Timur, mertua raja Airlangga (1019-1042).
Dari Sri Jayabhupati, kekuasaannya diwariskan kepada putranya, Dharmaraja (1042-1064), lalu kepada cucu menantunya, Prabhu Langlangbhumi (1064-1154). Prabu Langlangbhumi dilanjutkan oleh putranya, Rakryan Jayagiri (1154-1156), lantas oleh cucunya, Prabhu Dharmakusuma (1156-1175). Dari Prabu Dharmakusuma, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan kepada putranya, Prabhu Guru Dharmasiksa, yang memerintah selama 122 tahun (1175-1297). Dharmasiksa memimpin Sunda-Galuh dari Saunggalah selama 12 tahun, tetapi kemudian memindahkan pusat pemerintahan ke Pakuan Pajajaran, mengembalikan lagi ke tempat awal moyangnya (Tarusbawa) memimpin dan memindahkan kerajaan Sunda.
Sepeninggal Dharmasiksa, kekuasaan Sunda-Galuh turun kepada putranya sulungnya yaitu Rakryan Saunggalah (Prabhu Ragasuci), yang berkuasa selama enam tahun (1297-1303). Prabhu Ragasuci kemudian digantikan oleh putranya, Prabhu Citraganda, yang berkuasa selama delapan tahun (1303-1311), kemudian oleh keturunannya lagi, Prabu Linggadewata (1311-1333). Karena hanya memiliki anak perempuan, Linggadewata menurunkan kekuasaannya kepada menantunya, Prabu Ajiguna Linggawisesa (1333-1340), dilanjutkan kepada Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350). Dari Prabu Ragamulya, kekuasaan diwariskan kepada putranya, Prabu Maharaja Linggabuanawisesa (1350-1357), yang di ujung kekuasaannya gugur saat terjadinya Perang Bubat. Karena saat kejadian di Bubat, putranya Niskalawastukancana masih sangat kecil, kekuasaan Sunda sementara dipegang oleh Patih Mangkubumi Sang Prabu Bunisora (1357-1371).
Comments
Post a Comment