Perkembangan kerajaan Kutai Kartanegara yang lokasinya berdekatan dengan kerajaan Kutai yang lebih dulu ada di Muara Kaman saat awalnya tidak menimbulkan perselisihan yang cukup berarti. Hanya saja, ketika kerajaan Kutai Kartanegara masih diperintah oleh Aji Pangeran Sinom Panji Mendapa Ing Martadipura(1605-1635 M), terjadi peperangan besar diantara ke 2 kerajaan ini. Perang antara kerajaan Kutai dengan kerajaan Kutai Kartanegara yang akhirnya kekalahan telak untuk kerajaan Kutai, yang kemudian ke 2 kerajaan tersebut akhirnya dilebur menjadi 1 kerajaan dengan nama kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura. Raja pertama dari gabungan ke 2 kerajaan tersebut adalah pemenang dari peperangan ke 2 kerajaan Kutai itu yaitu Aji Pangeran Sinom Panji Mendapa Ing Martadipura (1605-1635 M).
Pengaruh Islam yang sebelumnya telah masuk sejak pemerintahan Aji Raja Mahkota (1525-1600 M) telah mengakar sangat kuat pada masa pemerintahan Aji Pangeran Sinom Panji Mendapa Ing Martadipura. Agama Islam sangatlah berpengaruh besar terhadap sistem pemerintahan kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura. Hal ini sudah terlihat dari adanya pengaruh Islam pada pemakaian hukum Islam dalam Undang-undang Dasar kerajaan yang dikenal dengan nama Panji Selaten yang terdiri dari 39 pasal dan memuat sebuah kitab peraturan yang bernama Undang-undang Beraja, kemudian didalamnya memuat 164 pasal-pasal peraturan. Kedua Undang-undang tersebut berisi tentang peraturan yang disandarkan atas Hukum Islam.
Sebutan kesultanan sudah sepantasnya diberikan kepada kerajaan Kutai Kartanegera Ing Martadipura sejak terjadina penggabungan/peleburan ke 2 kerajaan, yaitu kerajaan Kutai dan kerajaan Kutai Kartanegara, mengingat Islam sudah memegang peranan yang sangat penting didalam pembentukan pondasi hukum dan pemerintahan. Hanya saja, persoalannya adalah masih digunakannya penyebutan gelar tertinggi, yaitu "Aji" bukan "Sultan" bagi pemimpin kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, menjadi alasan tersendiri kenapa kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura saat itu masih disebut sebagai kerajaan. Penyebutan kesultanan yang pada akhirnya akan layak diberikan ketika kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura telah menggunakan gelar sultan pada rajanya sendiri, yaitu ketika diperintah oleh Aji Sultan Muhammad Idris (1732-1739 M).
Aji Sultan Muhammad Idris adalah menantu dari Sultan Wajo La Madukelleng, seorang bangsawan dari bugis di Sulawesi Selatan. Pada saat rakyat Bugis berada di Sulawesi Selatan dan sedang berperang melawan VOC (Vereenigde Oost indische Compagnie), Sultan Wajo La Madukelleng meminta bantuan kepada Aji Sultan Muhammad Idris. Permintaan bantuan ini kemudian di terima oleh Aji Sultan Muhammad Idris. Maka segera berangkatlah rombongan pasukan Aji Sultan Muhammad Idris ke wilayah Sulawesi Selatan untuk membantu Sultan Wajo La Medukelleng. Tetapi malang sekali nasib dari sultan Aji Muhammad Idris yang akhirnya tewas terbunuh di tengah pertempuran melawan VOC.
Tampuk kepemimpinan di kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura akhirnya dipegang oleh dewan perwalian selama Aji Sultan Muhammad Idris ke wilayah Sulawesi Selatan. Akan tetapi, setelah Aji Sultan Muhammad Idris meninggal dalam pertempuran di Sulawesi, banyak muncul perdebatan tentang siapa kelak yang akan menggantikan posisi sultan di kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura. Perebutan tahta pun akhirnya terjadi diantara kedua putra Aji Sultan Muhammad Idris, yaitu Putera Mahkota Aji Imbut dan Aji Kado.
Saat terjadi peperangan perebutan kekuasaan Aji Imbut mulai terdesak dan melarikan diri ke wilayah Sulawesi Selatan, ke tanah kakeknya, sultan Wajo La Madukelleng. Hal itu terjadi pada awal perebutan tahta kesultanan, Di wilayah Sulawesi Selatan, Aji Imbut membangun kekuatan sekali lagi agar dapat kembali menyerang dan merebut kekuasaan dari tangan Aji Kado. Aji Kado sendiri menduduki wilayah ibukota kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura yang terletak di Pemarangan karena ibukota kesultanan Kutai Kartanegara telah berpindah tempat dari Kutai Lama ke Pemarangan sejak tahun 1732.
Setelah kekuatan pasukan yang dibangun sudah cukup banyak untuk berperang Aji Imbut kembali berniat untuk menyerang Aji Kado di Pemarangan. Dengan di dukung oleh orang-orang Wajo dan Bugis, kali ini Aji Imbut berhasil untuk mengalahkan Aji Kado dalam peperangan tersebut dan mampu menduduki singgasana kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura dan telah mendapatkan gelar Aji Marhum Muhammad Muslihuddin (1739-1782 M). Sementara itu, Aji Kado ditangkap dan dihukum mati kemudian dimakamkan di Pulau Jembayan.
Pengaruh Islam yang sebelumnya telah masuk sejak pemerintahan Aji Raja Mahkota (1525-1600 M) telah mengakar sangat kuat pada masa pemerintahan Aji Pangeran Sinom Panji Mendapa Ing Martadipura. Agama Islam sangatlah berpengaruh besar terhadap sistem pemerintahan kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura. Hal ini sudah terlihat dari adanya pengaruh Islam pada pemakaian hukum Islam dalam Undang-undang Dasar kerajaan yang dikenal dengan nama Panji Selaten yang terdiri dari 39 pasal dan memuat sebuah kitab peraturan yang bernama Undang-undang Beraja, kemudian didalamnya memuat 164 pasal-pasal peraturan. Kedua Undang-undang tersebut berisi tentang peraturan yang disandarkan atas Hukum Islam.
Sebutan kesultanan sudah sepantasnya diberikan kepada kerajaan Kutai Kartanegera Ing Martadipura sejak terjadina penggabungan/peleburan ke 2 kerajaan, yaitu kerajaan Kutai dan kerajaan Kutai Kartanegara, mengingat Islam sudah memegang peranan yang sangat penting didalam pembentukan pondasi hukum dan pemerintahan. Hanya saja, persoalannya adalah masih digunakannya penyebutan gelar tertinggi, yaitu "Aji" bukan "Sultan" bagi pemimpin kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, menjadi alasan tersendiri kenapa kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura saat itu masih disebut sebagai kerajaan. Penyebutan kesultanan yang pada akhirnya akan layak diberikan ketika kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura telah menggunakan gelar sultan pada rajanya sendiri, yaitu ketika diperintah oleh Aji Sultan Muhammad Idris (1732-1739 M).
Aji Sultan Muhammad Idris adalah menantu dari Sultan Wajo La Madukelleng, seorang bangsawan dari bugis di Sulawesi Selatan. Pada saat rakyat Bugis berada di Sulawesi Selatan dan sedang berperang melawan VOC (Vereenigde Oost indische Compagnie), Sultan Wajo La Madukelleng meminta bantuan kepada Aji Sultan Muhammad Idris. Permintaan bantuan ini kemudian di terima oleh Aji Sultan Muhammad Idris. Maka segera berangkatlah rombongan pasukan Aji Sultan Muhammad Idris ke wilayah Sulawesi Selatan untuk membantu Sultan Wajo La Medukelleng. Tetapi malang sekali nasib dari sultan Aji Muhammad Idris yang akhirnya tewas terbunuh di tengah pertempuran melawan VOC.
Tampuk kepemimpinan di kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura akhirnya dipegang oleh dewan perwalian selama Aji Sultan Muhammad Idris ke wilayah Sulawesi Selatan. Akan tetapi, setelah Aji Sultan Muhammad Idris meninggal dalam pertempuran di Sulawesi, banyak muncul perdebatan tentang siapa kelak yang akan menggantikan posisi sultan di kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura. Perebutan tahta pun akhirnya terjadi diantara kedua putra Aji Sultan Muhammad Idris, yaitu Putera Mahkota Aji Imbut dan Aji Kado.
Saat terjadi peperangan perebutan kekuasaan Aji Imbut mulai terdesak dan melarikan diri ke wilayah Sulawesi Selatan, ke tanah kakeknya, sultan Wajo La Madukelleng. Hal itu terjadi pada awal perebutan tahta kesultanan, Di wilayah Sulawesi Selatan, Aji Imbut membangun kekuatan sekali lagi agar dapat kembali menyerang dan merebut kekuasaan dari tangan Aji Kado. Aji Kado sendiri menduduki wilayah ibukota kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura yang terletak di Pemarangan karena ibukota kesultanan Kutai Kartanegara telah berpindah tempat dari Kutai Lama ke Pemarangan sejak tahun 1732.
Setelah kekuatan pasukan yang dibangun sudah cukup banyak untuk berperang Aji Imbut kembali berniat untuk menyerang Aji Kado di Pemarangan. Dengan di dukung oleh orang-orang Wajo dan Bugis, kali ini Aji Imbut berhasil untuk mengalahkan Aji Kado dalam peperangan tersebut dan mampu menduduki singgasana kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura dan telah mendapatkan gelar Aji Marhum Muhammad Muslihuddin (1739-1782 M). Sementara itu, Aji Kado ditangkap dan dihukum mati kemudian dimakamkan di Pulau Jembayan.
Comments
Post a Comment