MASUKNYA PENGARUH KOLONIALISME PADA KESULTANAN KUTAI KARTANEGARA ING MARTADIPURA

Pengaruh agama Islam pada kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura telah lama masuk semenjak kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura masih bernama kerajaan Kutai Kartanegara, tepatnya pada masa pemerintahan Aji Raja Mahkota (1525-1600 M). Dominasi pengaruh agama Hindu melalui kerajaan Majapahit sudah benar-benar pudar ketika Aji Raja Mahkota sudah memeluk agama Islma. Pengaruh Islma semakin menguat ketika kerajaan Majapahit sudah benar-benar runtuh pada tahun saka 1400 atau 1478 M.

Kesultanan Kutai Kartanegara selanjutnya menjadi taklukan kesultanan Banjar yang pada saat itu masih dipimpin oleh Pangeran Samudera (1526-1545 M). Status sebagai daerah taklukan kesultanan Banjar banyak mengantarkan kesultanan Kutai Kartanegara menjadi daerah vasal (bawahan)..

Pengalihan kekuasaan oleh pemerintah Hindia Belanjda terjadi pada tahun 1787 setelah Sultan Tamjidillah II menandatangani persetujuan tentang pengalihan kekuasaan atas wilayah taklukan kesultanan Banjar sebagai kompensasi atas bantuan pemerintahan Hindia Belanda ketika membantu Pangeran Samudera dalam peperangan melawan Pangeran Amir. Terhitung sejak tahun 1787, kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura secara de facto menjadi daerah taklukan pemerintahan Hindia Belanda. Perjanjian antara Sultan Tamjidillah II dengan pihak pemerintah Hindia Belanda berbunyi, "Sultan Banjar menyerahkan segala tanah kerajaan kepada pemerintah Hindia Belanjda, diantaranya itu sebagian besar akan diterimanya kembali sebagai pinjaman. yang tetap diserahkan kepada Pemerintah Belanda yaitu :

  • Tanah Bumbu.
  • Pagatan Pasir.
  • Kutai.
  • Berau.
  • Bulongan.
  • Kotawaringin.

Melalui perjanjian tersebut, maka sudah jelas bahwa sejak tahun 1787, kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura secara de facto sudah otomatis menjadi wilayah taklukan Belanda. Pengalihan kekuasaan dari kesultanan Banjar kepada pemerintah Hindia Belanda terjadi ketika kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura diperintah oleh Aji Sultan Muhammad Salehudin (1782-1845 M).

Pengalihan kekuasaan atas kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura dari kesultanan Banjar kepada pemerintah Hindia Belanjda pada dasarnya masih bersifat de facto (belum de jure), dikarenakan para sultan di kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura tidak pernah dilibatkan atau sampai menandatangani perjanjian pengalihan kekuasaan secara langsung. Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura hanya menerima pengalihan fungsi kewenangan sebagai konsekuensi dari posisi sebagai negara taklukan/bawahan dari kesultanan Banjar.


Pemerintah Hindia Belanda baru pada tahun 1825, atas usaha dari G. Muller, Residen Banjarmasin, mengikat secara rsmi kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura dengan menandatangani sebuah perjanjian antara pemerintah Hindia Belanda dengan Aji Sultan Muhammad Salehudin (1782-1845 M). Isi perjanjian tersebut secara garis besar menyatakan bahwa Sultan Kutai Kartanegara Ing Martadipura mengakui pemerintah Hindia Belanda sebagai yang dipertuan, sultan menyerahkan urusan pengadilan,bea cukai, pajak orang-orang cina, pajak tambang emas, dan sebagainya sebagai kompensasi, pemerintah Hindia Belanda memberikan santunan kepada kesultanan sebesar 8.000 golden per-tahun. Sejak perjanjian ini ditandatangani, pemerintah Hindia Belanda kemudian menempatkan seorang civil gezaghebber (penguasa sipil) di kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura bernama H. Van Dewal.

Perjanjian pada tahun 1825 itu dilakukan oleh pemerintah HIndia Belanda karena kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura memang memiliki kekayaan alam yang sangat melimpah, mulai dari kekayaan alam berupa batu bara, sarang burung walet, emas, intan, hasil-hasil hutan, hingga jalur perdagangan yang melewati sungai mahakam. Aktivitas perekonomian ini menjadikan kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura menjadi sangat makmur.

Kemakmuran dari segi perekonomian tersebut agak terganggu dengan adanya para bajak laut dari wilayah Sulu yang sudah mulai mengacau di perairan wilayah kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura. Dengan alasan untuk mencari daerah yang lebih aman, maka Aji Sultan Muhammad Muslihuddin memindahkan ibukota kesultanan  Kutai Kartanegara Ing Martadipura dari Pemarangan ke Tenggarong. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1871.


Pemerintah Hindia Belanda benar-benar menguasai kesultanan Kutai Kartanegara terhitung sejak 1825-1942 M. Penguasaan ini berakhir ketika pemerintahan pendudukan tentara Jepang telah masuk ke Indonesia dan berhasil untuk mengambil alih semua wilayah jajahan Belanda, termasuk didalamnya kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura.

Tidak ada perubahan yang terlalu signifikan pada kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura selama masa pendudukan tentara Jepang. Pemerintahan pendudukan Jepang masih tetap mempertahankan bentuk swapraja bagi kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura. Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura yang waktu itu masih diperintah oleh Aji Sultan Muhammad Parikesit (1920-1960 M). Memilih untuk bekerjasama dengan pemerintahan tentara pendudukan Jepang. Sikap ini diambil setalah adanya tindakan brutal yang dilakukan oleh banyak tentara jepang, yaitu membunuh sekitar 300 orang keluarga kesultanan Pontianak karena tidak mau untuk tunduk dan bekerjasama dengan pemerintahan pendudukan tentara Jepang.



Comments